Selasa, 27 Maret 2012

BAB I
Tindak Pidana Korupsi Secara Bersama-sama
A.RINGAKASAN PUTUSAN PENGADILAN
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI

Perkara pidana khusus tingkat kasasi dalam perkara terdakwa,yang bernama Andi Muhammad Irdan Yunus Saputra yang mana berumur 21 Tahun berjenis kelamin laki-laki.Bertempat tinggal dijalan kenanga No.8 Sengkang,ia merupakasan seorang mahasiswa dan beragama islam
Terdakwa berada di luar tahanan : yang diajukan di muka persidangan PN Sengkang karena didakwa :
Putuan PN.SKG Tgl 8 Agustus 2007 sudah inkracht :
Bahwa terdakwa selaku direktur CV. Yusbar sebagai pelaksana kegiatan penimbunan, pengkrikilan jalan dan pembuatan talud II Ruas menge-tancung Purai Kec. Belawa kab. Wajo Tahun anggara 2004 dan H. Pateddugi bin H. Abdul Latief sebagai Pengendali Kegiatan pada tgl 5 april 2004 sampai dengan 26 Juli 2005 bertempat di kantor dinas pekerjaan umum pertambangan dan energi wajo atau di tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Sangkang, telah melakukan perbuatan secara melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan perekonomian Negara sehingga harus dipandang suatu perbuatan berlanjut.

Berdasarkan alasan dan keberatan yang diuraikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di atas. Majelis Hukum berpendapat dalam memeriksa dan mengadili perkara terdakwa secara sungguh-sungguh tidak melaksanakan peradilan dan mengambil keputusan berdasarkan ketentuan perundang-undangan maka seharusnya terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan subsidiairitas JPU, sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam requisitoir JPU.
Oleh sebab itu perbuatan Andi Muhammad Irdan Yunus Saputra dan H.Pattedungi bin H.Abdul Latief bertentangan dengan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah pasal 36 ayat (3) yang berbunyi “pengguna barang/jasa menerima penyerahan pekerja setelah seluruh hasil pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan kontrak”. Sehingga perbuatan terdakwa telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp.119.460.633,30 dan merugikan keuang negara
Bahwa dimana perbuatan-perbuatan terdakwa Andi Muhammad Irdan Yunus Saputra bersama-sama dengan H.Pateddungi Bin H.Abdul Latief sebagaimana yang terlah diuraikan dalam penjelasan diatas telah merugikan keuangan negara.Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan Nomor :LAP-2178/PW21/V/2006 tanggal 18 April 2006 atas dugaan penyimpangan pelaksanaan pekerjaan penimbunan.Pengkrikilan jalan dan pembuatan taulud tahap II ruas Menge-Tancut Pural Kab.Wajo tahun 2004 revisi (perbaikan terhadap Nomor:LAP-0706/PW21/5/2006 tanggal 09 Februari 2006).
Dimana perbuatan tersebut dapat diancam dengan Pasal 2 ayat (1) Undan-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.Dan diubah juga ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP .











BAB II
KAJIAN TEORI
Berdasarkan pasal 12 huruf i terdapat empat unsure delik dapat rumusan pasal 12 huruf I, yaitu; (a) pegawai negeri atau penyelenggara Negara, (b) baik langsung maupun tidak langsung, turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, (c) pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya, dan (d) dengan sengaja. Yang perlu ditegaskan adalah tiga unsur pegawai negeri atau penyelenggara Negara.
Perbuatan dilarang dalam ketentuan Pasal 12 huruf i turut serta. Dalam konteks pasal ini turut serta adalah pegawai negeri atau penyelenggara Negara telah mengambil bagian dalam kegiatan pemborongan, pengadaan atau persewaan dengan mengambil keuntungan. Memperoleh keuntungan merupakan unsur penting selain ada keterlibatan langsung atau tidak langsung dalam pekerjaan pemborongan, pengadaan, atau persewaan.
Pemborongan, pengadaan atau persewaan sebagaimana disebutkan dalam pasal 12 huruf h, yang dilakukan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dikarenakan jabatannya. Ketika melaksanakan perbuatan itulah timbul perbuatan berupa ikut serta, pelaku juga sadar bahwa dia adalah orang yang mendapat tugas untuk mengawasi atau mengurus pemborongan, pengadaan barang, atau persewaan barang.
Pasal 7 ayat (1) terdapat tiga unsur delik dalam pasal tersebut, antara lain: (a) pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangunan, (b) perbuatan curang pada saat membuat bangunan, dan (c) dapat membahayakan keselamatan irangm keamanan barang atau keselamatan dalam keadaan perang.
Subjek hukum dalam pasal 7 ayat (1) huruf a ini adalah pemborong, ahli bangunan, atau penjual bangunan. Unsur berikutnya adalah perbuatan curang saat membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan. Pverbuatan curang diartikan sebagai perbuatan yang bersifat tidak jujur dalam membangun atau menyerahkan bangunan. Wujud perbuatan curang ini bermacam-macam, tergantung pada keadaan-keadaan yang menyertainya, seperti keaslian bahan bangunan, mutu, ukuran, jumlah, kadar, dan lain-lain. Akibat dari perbuatan ini, diperkirakan akan membahayakan keselamatan orang, keamanan barang, atau keselamatan dalam keadaan perang.
Dengan demikian, untuk terjadinya delik dalam ketentuan pasal 7 ayat 1 huruf a terdapat beberapa hal yang harus dibuktikan antara lain:
1. Adanya pengetahuan pelaku bahwa dirinya itu merupakan seorang pemborong, ahli bangunan atau seorang penjual bahan bangunan.
2. Adanya kehendak pelaku untuk melakukan perbuatan curang pada waktu mengerjakan suatu bangunan atau pada waktu menyerahkan bahan-bahan bangunan.
3. Adanya pengetahuan bahwa perbuatan curang tersebut telah ia lakukan pada waktu mengerjakan suatu bangunan atau apada waktu menyerahkan bahan bangunan.
4. Adanya pengetahuan pelaku bahwa karena perbuatan curang itu, keselamatan orang-orang atau barang-barang ataupun Negara dalam keadaan perang, mungkin akan mendapatkan bahaya.
Unsur-unsur delik yang terkandung dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b adalah: (a) pengawas bahan bangunan atau pengawas penyerahan bahan bangunan, (b) membiarkan dilakukannya perbuatan curang pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan, dan (c) perbuatan curang tersebut dilakukan dengan sengaja.
Subjek hukum dalam Pasal 7 ayat (1) hruf b adalah bahan bangunan atau pengawas penyerahan bahan bangunan. Berikutnya adalah unsur “membiarkan dilakukannya perbuatan curang pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan”. Perbuatan membiarkan merupakan perbuatan pasif (omission delict). Seorang pengawas akan dipersalahkan jika dia mengetahui bahwa dalam pekerjaan bangunan terdapat perbuatan curang, tapi dia tidak melaporkan hal itu kepada atasasn yang mengangkatnya sebagai pengawas, padahal hal itu merupakan kewajibannya.
Unsur “pembiaran” harus dilakukan dengan sengaja, sehingga konsekuensinya adalah bahwa perbuatan pengawas yang membiarkan terjadinya perbuatan curang yang dilakukan pemborong, ahli bangunan atau penjual bahan bangunan harus dilakukan secara sengaja, yaitu mengetahui terjadinya perbuatan curang tapi malah membiarkan hal itu terjadi, dan menghendaki terjadinya perbuatan curang tersebut.
Ketentuan Pasal 9 undang-undang No.31 tahun 1999 jo Undan-undang No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: (a) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan jabatan umum secara terus menerus atau untuk smentara waktu, (b) memalsu (c) buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, dan (d) dilakukan dengan sengaja. Memalsu adalah perbuatan dengan cara bagaimanapun mengubah tulisan pada buku-buku atau daftar-daftar yang sudah ada sebelumnya sehingga isinya menjadi lain dari yang sebenarnya atau menjadi palsu. cara memalsu ini bisa bermacam-macam, misalnya menambah tulisan berupa satu dua kata atau bilangan, atau menghilangkannya dengan menghapus atau menuliskan hal yang baru isi dan arti menjadi lain dari semula.
Objek yang dipalsu tersebut secara limitative disebutkan dalam Pasal 9 yaitu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Tindakan pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi harus dilakukan dengan sengaja. “dengan sengaja” secara jelas menunjukkan bahwa tindakan tersebut harus dalam bentuk kesengajaan, bukan kealpaan, dan jaksa penuntut umum dan hakim harus membuktikan unsur kesengajaan tersebut.
Undang-undang no.31 tahun 1999 jo undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pidana korupsi juga tidak memberikan pengertian permufakatan jahat, sehingga tidak mau harus merujuk pada pengertian permufakatan jahat dalam buku I KUHP. Ketentuan mengenai permufakatan jahat dalam KUHP diatur dalam pasal 88, Pasal itu sebenarnya tidak mengikat perundang-undangan pidana diluar KUHP termasuk undang-undang tindak pidana korupsi .
Pengertian permufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP disebutkan disini. Pasal 88 menyebutkan bahwa dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan. Apabila perkataan kejahatan dalam rumusan “permufakatan jahat” berupa tindak pidana korupsi, maka sesungguhnya tindak pidana korupsi tersebut tidak terjadi atau belum terjadi, termasuk belum terjadi percobaan menurut pengertian permufakatan jahat yang demikian mengisyaratkan bahwa permufakatan jahat hakikanya lebih mundur daripada pengertian percobaan.
Dari rumusan permufakatan jahat diatas, terdapat tiga unsur penting yang harus diketahui, yakni adanya dua orang atau lebih, adanya kesepakatan, dan adanya kehendakuntuk melakukan kejahatan. Dengan melihat tiga unsur tersebut dalam permufakatan jahat secara teoritis, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, sebaiknya melihatnya sebagai perbuatan persiapan.
Dalam tidak pidana korupsi pembantuan melakukan tindak pidana tidak berbeda jauh dengan kerangka teoritis diatas, yang membedakan hanyalah ancaman pidana bagi pelaku pembantu yang dipidana sama dengan pelaku tindakan pidana sempurna. Ancaman pidana yang terdapat dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai pasal 14 undang-undang tindak pidana korupsi berlaku juga terhadap seseorang yang membantu melakukan tindak pidana tanpa ada pengurangan sedikit pun.




BAB III
ANALISIS PERTIMBANGAN

Bahwa dalam pasal 244 KUHAP menentukan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diajukan tingkat terakhir ke Mahkamah Agung atau penuntut umum secara mekanisme memang dapat mengajukan permintaan kasasi kepada mahkamah agung kecuali terhadap putusan bebas.
Apabila putusan bebas itu merupakan pembebasan murni sifatnya maka permohonan kasasi akan ditolak oleh mahkamah agung berdasarkan pasal 244 KUHAP.
Namun sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru, adanya dugaan suap serta tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan, ( meskipun hal ini tidak bisa diajukan sebagai alasan kasasi ). Mahkamah agung harus menerima permohonan kasasi tersebut demi hukum.
Bahwa PN (Pengadilan Negri) Sengkang telah menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi: menyatakan Terdakwa Andi Muhammad Irdan Yunus Saputra tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan jaksa penuntut umum, Mahkamah Agung berpendapat bahwa PN Sengkang dalam memeriksa dan mengadili perkara terdapat kekeliruan tentang putusan bebas murni seharusnya putusan tersebut bukan berbunyi bebas tetapi adalah lepas dari segala tuntutan hukum.
Terdakwa telah menghadap kepada notaris tersebut, mengingat akta notaris no. 37 tanggal 17 januari 2001 adalah termasuk surat bukti yang sah. Dalam perkara terdakwa ini terdapat perbuatan melawan hukum pemalsuan data identitas, sedang yang disidangkan adalah perkara perbuatan korupsi bukan tindak pidana lainnya. Bahwa perbuatan terdakwa bertentangan dengan pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat perjanjian sah sehingga terdakwa terbukti bersalah dalam hukum perdata bukan termasuk putusan bebas murni dalam amar putusan PN Sengkang.
Terdapat miss wewenang pada Majelis Hakim dalam pertimbangan Majelis Hakim bahwa memasukkan unsur non-yuridis.
Secara teori apabila umur terdakwa belum dewasa maka dianggap belum cakap hukum,yang mana dalam perjanjian itu salah satu unsur 1320 KUHPer tidak terpenuhi akan dapat batal demi hukum atau batal dengan sendirinya,tetapi perkara ini posisi terdakwa memiliki pertanggungjawaban karena terdakwa sebagai Direktur CVsehingga terdakwa dianggap telah dewasa jadi perkara terdakwa ini harusnya diperlakukan sebagai tersangka anak dibawah umur dan nantinya di proses di pengadilan dalam perkara anak ( sesuai lex specialis derogat legi generalis ). Oleh karena itu hak-hak terdakwa sangat dirugikan oleh penyidik polisi dan terdakwa tidak disidang dalam perkara anak. Pertimbangan tersebut tidaklah rasional dan terjadi miss wewenang sejak sidang pertama dalam perkara tersebut.

A.Majelis Hakim tidak menerapkan perarturan hukum atau Diterapkan tidak sebagaimana mestinya (Pasal 253 ayat (1) sub a KUHAP ) yaitu dalam hal:
Fakta serta pembuktian bahwa Terdakwa telah menerima seluruh pembayaran nilai kontrak sebesar Rp 1.647.625.000,- dan yang paling bertanggung jawab adalah terdakwa Andi Muhammad Irdan Yunus Saputra karena telah menandatangani seluruh dokumen proyek.
Bahwa Majelis Hakim PN Sengkang telah cenderung berpihak kepada Terdakwa Andi Muhammad Irdan Yunus Saputra dengan diterima Eksepsinya, sedangkan pengendali kegiatan (H. Pateddugi bin H. Abdul Latief) terbukti bersalah yang diajukan secara terpisah akan tetapi Terdakwa Andi Muhammad Irdan Yunus Saputra dibebaskan, logikanya terhadap kasus yang sama pada proyek yang sama pula pengendali kegiatan terbukti bersalah namun Terdakwa Andi Muhammad Irdan Yunus Saputra selaku kontraktor yang menandatangani seluruh dokumen proyek (pasal 78 putusan) malah dibebaskan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan bunyi pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP yang berbunyi: “Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan Terdakwa”.
Bahwa menurut JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan tidak dipertimbangkannya saksi ahli yang dihadirkan JPU tersebut maka Majelis Hakim tidak menerapkan peraturan hukum atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, seperti diatur dalam pasal 197 atau (1) huruf d KUHAP.
Analisis:
Bahwa adanya pertimbangan Majelis Hakim yang cenderung sepihak, yaitu menguntungkan pada terdakwa Andi Muhammad sebagai kontraktor dan H.pateddugi sebagai pengendali kegiatan yang dinyatakan bersalah. Secara logika pada kasus yang sama dan proyek yang sama maka kedua orang ini tentunya bersalah namun ada perbedaan pertimbangan dan ancaman pidana tetapi terdakwa Andi Muhammad malah dibebaskan dan H.pateddugi sebagai pengendali kegiatan terbukti bersalah.Yang mana dalam hal ini sifat melawan hukum yang ada pada perbuatan tersebut menjadi hilang karena alasan-alasan tertentu,dimana dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan jutification of crime.

B.Majelis Hakim tidak menerapkan perarturan hukum atau Diterapkan tidak sebagaimana mestinya (Pasal 253 ayat (1) sub a KUHAP ) yaitu dalam hal:
Dalam perkara pidana ini JPU tidk mengetahui Majelis Hakim mengambil dari mana pertimbangan bahwa Terdakwa yang mau saja disuruh menandatangani dokumen dan surat berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan proyek yang dikerjakan oleh CV.YUSBAR, apalagi Terdakwa bukan orang yang hilang ingatannya.
Analisis:
Bahwa Majelis Hakim berpendapat terdakwa melakukan penandatangan seluruh dokumen hanyalah sebagai kesalahan atau kelalaian bukan sebagai perbuatan melawan hukum berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan proyek tersebut. Pada pandangan orang lain saja tentunya tidak mungkin penandatangan dokumen trsbt sebagai kesalahan atau kelalaian. Di samping itu penandatangan merupakan bentuk tanggung jawab besar terhadap jalannya kegiatan proyek itu. Dalam fakta persidangan Terdakwa bukan orang yang hilang ingatannya, jadi pada proses penandatanganan dan pencairan dana sudah dilakukan berarti Terdakwa secara sadar telah melakukan penandatanganan.
C.Majelis Hakim tidak menerapkan perarturan hukum atau Diterapkan tidak sebagaimana mestinya (Pasal 253 ayat (1) sub a KUHAP ) yaitu dalam hal:

Bahwa Majelis Hakim telah melakukan kekeliruan di dalam cara mengadili yaitu tidak mengambil pertimbangan dengan menerapkan Pasal 4 UU. RI No. 31 Tahun 1999 yang berbunyi “Pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3”.

Fakta di persidangan di temukan bahwa pengembalian kerugian negar sebesar Rp. 119.460.633.30 oleh Terpidana. H. Pateddugi uangnya berasal dari CV.Yusbar karena pencairan dana proyek seluruhnya sebesar Rp 1.647.625.000,- diterima semua dan masuk dalam rekening CV.Yusbar yang direkturnya adalah Terdakwa Andi Muhammad Irdan Yunus Saputra, sedangkan H.Pateddugi selaku pengendali kegiatan dinyatakan terbukti bersalah pada pengadilan negeri yang sama yakni PN Sengkang, dan logikanya orang yang sudah terbukti mencuri ayam sekalipun ayamnya kembali tetap dipidana apalagi dalam pencurian uang Negara atau korupsi.

Berdasarkan alasan dan keberatan yang diuraikan JPU diatas,oleh karena itu kami berpendapat bahwa sebenarnya Majelis Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara Terdakwa Andi Muhammad Irdan Yunus Saputra secara sungguh-sungguh tidak melaksanakan peradilan dan mengambil keputusan berdasarkan ketentuan perundang-undangan maka Terdakwa seharusnya dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam surat dakwaan subsidairitas JPU, sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam requisitoir JPU.
Analisis:
Dalam kasus tersebut sudah jelas dalam Pasal 4 UU. RI No. 31 Tahun 1999. Dan barang atau uang yang sudah dicuri dan telah dikembalikan maka tidak menghapuskan pidana orang tersebut. Jadi Majelis Hakim telah melakukan kekeliruan dalam perkara ini seharusnya terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan.
























BAB IV
KESIMPULAN
Sebenarnya pada putusan Mahkamah Agung pada kasus putusan perkara tindak pidana menyatakan terdakwa andi muhammad Irdan Yunus saputra, korupsi di sulawesi dalam pengadaan penimbunan, pengkrikilan jalan dan pembuatan talud tahap II Ruas Mengetancung Purai Kec. Belawa. Didalam putusan pengadilan negri bahwa terdakwa itu dikenakan putusan bebas, tetapi jaksa penuntut umum mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan negeri, tetapi di dalampasal 224 KUHAP (KitabUndang-Undang Hukum Acara Pidana) pemeriksaan unutk kasasi “terhadap putusan perkara pidana yang di berikan pada tingkat terakir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,Terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kceuali putusan bebas”.(1)Tetapi sebaliknya di dalam pembebasan tersebut ada mengandung kekeliruan dalam penafsiran terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan di dasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan. Melihat pada pembuktian dari brita acara pemeriksaan dan putusan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana“KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA DAN BERLANJUT”.Tetapi terdakwa melakukan memalsukan identitas, sedangkan yang di sidangkan terhadap terdakwa yaitu kasus korupsi atau tindak pidana umum lainnya, padahal menurut majelis hakim perbuatan Terdakwa bertentangan dengan pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.(2) perjanjian tentang syarat perjanjian sah, sehingga dengan demikian perbuatan Terdakwa terbukti tetapi masuk dalam perdata jadi bukan termasuk putusan bebas murni, yang dimaksud putusan bebas murni adalah jika ada keadaan baru yagn didukung bukti baru yang dikemukakan oleh pemohon permohonan peninjauan kembali dapat meniadakan pembuktian semula sehingga kesalahan terpidana menjadi tidak terbukti.atau dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut ada kekeliruan hakim. Dimana kekeliruan hakim tersebut dapat dihilangkan hanya dengan jalan membatalkan putsan tersebut dengan putusan bebas, lepas dari tuntutan hukum, ataupun menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Sedang kan putusan lepas dari segala utntuan hukum itu adalah apabila keadaan baru yang diajukan dalam permohan peninjaun kembali ini dapat melenyapkan sifat perbuatan yang didakwakan menjadi suatu tindakan yang berada diluar jangkauan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran karna apa yang dilakukan bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran pidana.(3) Tetapi terdakwa dikenakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, maksudnya itu bahwa terdakwa melakukan perbuatan melawan hukum tetapi dalam persidangan tidak sesuai dengan perbuatan melawan hukumnya terdakwa.
Tindak pidana korupsi seperti dalam surat dakwaan , memenuhi unsr – unsur penting nntuk memperkaya diri sendiri , antara lain :
• Memperoleh dan menambahkan kekayaan
• Perbuatan memperoleh dan menambahkan kekayaan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum
• Merugikan keuangan negara
Korupsi di atas brhubungan erat dengan kekuasaan dan peluang yang ada , seperti diketahui dalam surat dakwaan di atas bahwa terdakwa Andi Muhammad Irdan Yunus saputra memiliki kekuasaan dan peluang untuk melakukan tindak korupsi . Sebagai pelaksana kegiatan sangat memudahkan terdakwa untuk memenuhi nsur- unsur memperkaya diri sendiri seperti yang disebut di atas .
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa ( extra ordinary crime ) dengan korban yang banyak dan implikasi yang meluas , seperti dalam kasus di atas bahwa terdakwa melakukan tindakan korupsi dengan modus pengadaan barang dalam program penimbuan , pengkrikilan jalan dan pembuatan talud dimana koran sendiri tidak sadar bahwa dirinya menjadi korban korupsi pejabat negara yang memiliki kewajiban untuk mengayomi dan melindungi masyarakat demi kemakmuran bangsa .
Motif dari terdakwa melakukan korupsi antara lain karena memiliki kekuasaan sebagai pelaksana kegiatan dan pengendali kegiatan yang memiliki peluang yang besar untuk mengkondisikan segala sesuatu yang dapat mempermudah jalannya melakukan tndak pidana korupsi . Modus korupsi yang dilakukan yaitu dengan pengadaan barang – barang kebutuhan dalam pelaksanaan program kerja yang disetujui oleh pengendali kegiatan yaitu H.Pateddugi .
Type tindak pidana korupsi seperti yang dilakukan oleh terdakwa merupakan type political Bribery karena ada kompromi antara terdakwa dengan H.Pateddugi sehingga ada unsur kerja sama untuk memudahkan dalam melakukan tindak pidana korupsi tersebut .
Tindak korupsi yang merugikan keuangan negara seperti di atas tidak mengenal delik percobaan artinya meskipun perbuatan pidana dilakukan masih dalam “permulaan Pelaksanaan” , namun tetap dihitung sebagai delik selesai .
Perbuatan yang dilakukan terdakwa di atas jelas merugikan negara , seperti diatur dalam pasal 1 angka 22 UU No 1 tahun 2004 , yang berbunyi :
“Kekurangan uang , surat berharga , dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun tidak lalai”
Jadi jelas harusnya terdakwa mendapat sanksi atas perbuatannya , karena telah merugikan keuangan negara .
Dengan adanya pertimbangan – pertimbangan untuk melakukan kasasi , merupakan suatu langkah yang tepat untuk menghukum dan memberi sanksi kepada koruptor , membuat koruptor jera dengan sanksi – sanksi sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku .